Minggu, 22 Desember 2019

22 Desember Hari Ibu, Inilah Penghargaan Islam Terhadap Seorang Ibu

Kongres perempuan pertama di Indonesia yang dihelat selama kurang lebih empat hari lebih, mulai dari 22 hingga 25 Desember 1928 di Yogyakarta, menjadi inspirasi utama dari lahirnya peringatan hari ibu Nasional.
Disamping berdasarkan hasil keputusan kongres perempuan ke III pada tahun 1938, juga ada legalisasi presiden Soekarno melalui Dekritnya bernomor 316 1959 untuk menjadikan 22 Desember Hari Ibu Nasional.
Namun semangat dan motif keputusan itu tidak berfokus pada kaum ibu semata, akan tetapi lebih kepada perempuan secara umum  dalam memupuk semangat perjuangan perempuan mengupayakan perbaikan kualitas bangsa.
Terlepas dari apa motif penetapan 22 Desember Hari Ibu Nasional, tentunya peringatan seperti ini layak diapresiasi. Karena kita sebagai manusia tentunya secara naluri perlu pada moment-moment tertentu untuk mengenang dan memperingati sesuatu yang dianggap penting dalam kehidupan.
Berkenaan dengan momen ini, penulis terinspirasi untuk menguatkan pengetahuan melalu artikel ini, tentang keistimewaan dan penghargaan Islam terhadap seorang ibu. Agar kita semakin terinspirasi untuk lebih berbakti terhadap ibu khususnya dan kedua orang tua pada umumnya.
Pertama, porsi pengabdian anak terhadap ibu lebih banyak dibanding bapak
Ada perhatian lebih dari Nabi Muhammad saw terhadap kaum ibu dibanding kaum bapak. Beliau dalam sabdanya memberikan porsi pengabdian seorang anak terhadap ibu tiga banding satu dari bapak.
Dinyatakan secara tegas oleh Rasululah saw dalam dialognya dengan salah satu sahabat yang bertanya tentang porsi pengabdian anak terhadap ibu dan bapak. Beliau menjawab bahwa porsi pengabdian anak terhadap ibu tiga kali dibanding bapak sebagai mana hadis berikut:
 عن أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
“Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.” (HR. al-Bukhari, kitab al-Adab, nomor 5971 dan Muslim, Kitab al-Bir wa al-Shilah wa al-Adab, nomor 2548)
Kedua, pengabdian terhadap ibu menjadi bagian dari jihad dan jalan menuju surga
Perhatian khusus Nabi saw terhadap seorang ibu juga bisa dilihat dari salah satu kejadian seorang sahabat yang mendatangi beliau dalam rangka meminta saran dan menyatakan kehendaknya untuk berperang. Nabi Muhammad saw menanggapinya agar tidak usah ikut berperang dan menjaga ibunya. Karena dia menjadi jalan menuju surga.
جاء رسجل اسمه جاهمة، فسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: (يا رسولَ اللَّهِ، أردتُ أن أغزوَ وقد جئتُ أستشيرُكَ؟ فقالَ: هل لَكَ مِن أمّ؟ قالَ: نعَم، قالَ: فالزَمها فإنَّ الجنَّةَ تحتَ رِجلَيها)
“Salah seorang bernama Jahimah mendatangi Nabi Muhammad saw dan berkata: “wahai Rasulullah saw, saya ingin berperang bersamu melawan musuh-musuh Allah swt, maka mohon sarannya!” Nabi saw menjawab: “ apakah ibumu masih ada?” orang tersebut menjawab: “ia wahai Rasulullah saw.” disanggah lagi oleh Rasulullah saw: “ kalau begitu jagalah dia, karena surga berada ditelapak kakinya.” (HR. al-Nasa’i dalam shahihnya nomor 3104)
Ketiga, amalah yang paling ampuh adalah berbakti kepada ibu
Ibnu Abbas mengatakan bahwa tidak ada jalan yang lebih baik dan ampuh untuk mendekatkan diri kepada Allah swt selain berbakti terhadap seorang ibu. Pernyataan beliau dapat dilihat dalam redaksi berikut:
“Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Aku pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain berbakti kepada ibu” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya shahih nomor 2799)
Kempat, seorang ibu dapat predikat syahid disaat mati dalam kondisi melahirkan
Perjuangan seorang ibu mulai dari hamil hingga anaknya menjadi besar sungguh sangat luar biasa. Sehingga sah-sah saja dia bisa mendapatkan predikat syahid disaat mati dalam kondisi melahirkan, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw:
الشُّهَدَاءُ سَبْعَةٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ : الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ ، وَالْحَرِقُ شَهِيدٌ ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيد
“Syuhada’ (orang-orang mati syahid) yang selain terbunuh di jalan Allah itu ada tujuh: Korban wabah tha’un adalah syahid, mati tenggelam adalah syahid, penderita penyakit lambung (semacam liver) adalah syahid, mati karena penyakit perut adalah syahid, korban kebakaran adalah syahid, yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid, dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Ahmad dalam musnadnya nomor 15998)
Paparan diatas sangat jelas memberikan pencerahan sekaligus teguran pada kita semua bahwa seorang ibu sangat ditinggikan dan dihargai oleh islam berkat perjuangan hidupnya, mulai dari hamil hingga anak-anaknya tumbuh menjadi besar. Sehingga kita tidak boleh merendahkannya apalagi menyia-nyiakannya. Jika ia, berarti kita telah menjadi manusia biadab yang tidak tahu berterima kasih.
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan Komentar yang Membangun, Jangan Lupa Nama: E-mail: Wa: