Minggu, 12 Maret 2017

Malala Jadi Prototype Pendidikan Pemudi; Kampus Tak Lagi Melahirkan Calon Negarawan


[Ikrar Muslimah Muda Indonesia Menolak Kapitalisme Demokrasi & Memperjuangkan Khilafah Islam “Pendidikan Pemudi Dalam Sistem Kapitalisme Demokrasi: Pencerdasan Atau Pembodohan?”, 27 Oktober 2013 (3)]

HTI Press. Bogor. Selanjutnya, hadir sebagai pembicara adalah Ibu Fika M. Komara, anggota Central Media Office of Hizb-Ut Tahrir. Di awal acara, kita coba diaruskan dengan kasus Malala sebagai prototype pendidikan pemudi. Berbagai kalangan intelektual di negeri ini, cukup terpengaruh dengan isunya. Namun coba kita transformasikan narasinya, khususnya tentang pendidikan tinggi.
Apa yang sedang terjadi pada pendidikan tinggi? Bicara angka, 2,4 juta perempuan Indonesia menjadi TKW, 3 juta menjadi buruh pabrik dan tani. Kita mungkin termasuk dari 5% perempuan Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, disamping 95% perempuan yang kurang beruntung untuk menikmati masa tersebut.
Masa 13 tahun BHMN-isasi, pendidikan Indonesia justru dalam malapetaka. Karena sistem pendidikan itu menghasilkan se-pasukan kaum yang tak segan menggadaikan negerinya, hingga mengakibatkan negeri ini makin diperas oleh para penjajah. Padahal pada awalnya mereka adalah mahasiswa biasa seperti kita saat ini. Nyatanya, mereka setelah lulus menjadi kehilangan integritas dan moral.
Tiga belas tahun yang lalu, aroma pergerakan aktivis muslim masih sangat kental, meski sudah dalam asuhan pendidikan sekular. Tapi kini, ke mana aroma itu pergi? Kampus sejatinya telah menjadi inkubator yang melahirkan para aktivis, khususnya aktivis muslim. Di saat itulah kampus menjadi wahana pemikiran bagi para mahasiswanya. Mereka tak peduli dengan sederet gelar. Mereka lebih tak ingin lenyap integritasnya.
Kini, kampus sudah tidak lagi memproduksi kaum negarawan. Kualitas kaum terdidik hanya sebatas berkualitas grosiran. Dulu mahasiswa masih mampu berpikir sistemik, bukan berpikir tentang dirinya sendiri. Mereka mampu menggabungkan urusan pribadi dengan urusan publik dan urusan dakwah. Tiga strategi barat untuk melenyapkan karakter negarawan:
1) penjumudan
2) pemiskinan
3) pecah belah
Akibatnya, lulusan kampus hanya menjadi menara gading yang hanya memikirkan diri sendiri, makin jauh dari sosok pemimpin sejati, makin jauh dari sosok negarawan.
Dalam Islam, tidak dibatasi peran perempuan untuk menjadi negarawan. Sosok Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a, yang secara pribadi tidak memiliki anak kandung, namun beliau adalah ibu dari seluruh kaum muslimin. Kiprah politiknya dalam dakwah Islam juga tidak diragukan lagi hingga 14 abad berselang kini. Belum lagi dengan ribuan ulama perempuan yang telah terlahir sepanjang masa kejayaan Islam. Walhasil, inilah sejatinya prototype bagi pemudi Islam. Bukanlah potret perempuan yang terdidik oleh Barat yang harus menjadi teladan. [nin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan Komentar yang Membangun, Jangan Lupa Nama: E-mail: Wa: